TELUK AMBON DAN EKOSISTEMNYA DALAM ANCAMAN, BENARKAH?
TELUK
AMBON DAN EKOSISTEMNYA DALAM ANCAMAN, BENARKAH?
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Provinsi Maluku sebagai
provinsi kepulauan merupakan bagian dari wilayah Nusantara Indonesia, dengan
luas wilayah 712.479,69 km², terdiri dari 92,40 % dengan luas perairan 154,185
km2. Hal ini membuktikan bahwa sekitar 32,94% luas daratan merupakan
total luasan 1.426 pulau kecil yang ada di propinsi ini. Dari pulau-pulau yang
ada di Provinsi Maluku secara fisik terdapat potensi garis pantai sepanjang
11.098,34 km2 (Ralahalu, 2007).
Ambon sebagai Ibukota provinsi Maluku juga
merupakan salah satu pulau yang dikelilingi wilayah laut. Pulau Ambon khususnya
Kota Ambon dengan total luas kawasan laut dan darat 786 Km2, terbagi atas luas daratan
377 Km2 (48,0 %) sedangkan luas perairan 4 mil laut sebesar 409,0 Km2
(52,0%), dengan garis pantai sepanjang 102,7 Km. Kawasan pesisir dan perairan
Kota Ambon dihadapkan kepada dinamika laut Banda, terdapat dalam bentuk teluk
yang relatif tertutup (Teluk Ambon) dan yang lebih terbuka (Teluk Baguala)
serta perairan terbuka (Pantai Selatan Kota Ambon) (Bruri 2014). Wilayah pesisir ini membentuk Ekosistem
pantai yang merupakan bagian dari ekosistem yang unik karena merupakan wilayah
peralihan antara ekosistem daratan (teresterial) dan ekosistem laut (oseanik).
Pengaruh kedua ekosistem tersebut membentuk karakteristik baru yang terdiri
dari beberapa ekosistem yakni ekosistem terumbu karang, mangrove dan
lamun.
Salah satu tempat
adanya ekosistem ini adalah Teluk Ambon. Ekosistem mangrove, terumbu karang,
dan lamun mempunyai keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik dalam
nutrisi terlarut, sifat fisik air, partikel organik, maupun migrasi satwa, dan
dampak kegitan manusia. Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem tersebut
terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut terganggu. Yang jelas interaksi
yang harmonis antara ketiga ekosistem ini harus dipertahankan agar tercipta
sebentuk sinergi keseimbangan lingkungan. Ekosistem mangrove merupakan
ekosistem yang sangat produktif dengan produktivitas primernya yang sangat
tinggi daripada ekosistem lainnya di perairan. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis
yang sangat penting yaitu sebagai salah satu penyerap karbondioksida di udara.
Peningkatan kandungan karbondioksida di udara dapat menyebabkan dampak
pemanasan global. Jika terjadi pemanasan global oleh penebangan hutan mangrove
besar-besaran maka ini akan berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang dan
lamun. Misalnya zooxanthela pada terumbu karang akan keluar dari karang akibat
meningkatnya suhu perairan. Karang yang membutuhkan zooxanthela dalam
memproduksi zat-zat penting bagi pertumbuhannya akan mati sehingga terjadi
pemutihan karang.
Ditinjau dari aspek
ekonomi, ketiga ekosistem ini menjadi penting bagi masyarakat pesisir di sekitarnya
(Suharsono, 1998). Ekosistem ini
terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang
sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Ekosistem
ini merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber
kehidupan bagi beraneka ragam biota laut
Ekosistem laut dangkal merupakan
ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan terus menerus dan tidak tahan
terhadap gangguan-gangguan alam yang berasal dari luar ekosistem. Salinitas, kadar
nutrian dan suhu dapat merupakan faktor pembatas yang umum bagi ekosistem. Mangrove
hidup pada kisaran suhu 25°C-28°C. Sedangkan kisaran suhu optimal bagi spesies
lamun untuk perkembangan adalah 28°C-30°C, untuk fotosintesis lamun membutuhkan
suhu optimum antara 25°C-35°C dan pada saat cahaya penuh. Pengruh suhu bagi
lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu
fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Secara global terumbu
karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan
23-25°C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C. (Nybakken, 1988)
Selain hal tersebut aktifitas manusia adalah hal yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekosistem. Penebangan hutan mangrove untuk pemukiman, pembukaan lahan pertanian dan pertambakan dapat mengakibatkan erosi sehingga mengeruhkan perairan. Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem lamun dan terumbu karang. Pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan akan mengancam ekosistem tersebut. Mengingat bahwa secara ekologis terumbu karang berfungsi untuk menahan gelombang dan arus yang kuat, sehingga tanpa keberadaannya akan mengamcam ekosistem lainnya yang biasanya terlindung dari ombak dan arus yang kuat. Ikan di daerah terumbu karang yang memakan suatu spesies ikan di sekitar daerah lamun lama kelamaan akan habis apabila terus menerus dieksploitasi secara besar-besaran oleh manusia.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Luas ekosistem di
wilayah Teluk Ambon setiap tahun semakin berkurang, seiring dengan meningkatnya
kegiatan masyarakat di wilayah tersebut. Teluk Ambon menjadi pusat aktifitas
masyarakat seperti : permukiman, ekonomi dan bisnis, perhubungan, penangkapan
ikan, budidaya perikanan dan aktifitas masyarakat lainnya. Semakin meningkatnya
aktifitas masyarakat di wilayah Teluk Ambon berdampak pada semakin menurunnya
kualitas perairan, yang membuat semakin terancamnya ekosistem tersebut (Terry
2015)
Dari pembahasan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa dampak manusia dan alam akan mempengaruhi ekosistem ini. Kondisi ekosistem Teluk Ambon saat ini dalam kondisi sangat kritis. Hal ini dapat dilihat dengan keberadaan dari tiga komponen ekosistem laut, seperti mangrove, terumbu karang dan lamun yang semakin berkurang, akibat dipengaruhi degradasi ekosistem pesisir, pembukaan lahan dan erosi serta pertambahan penduduk. Setiap harinya warga kota Ambon membuang berton-ton sampah ke Teluk Ambon (Bruri 2017). Pencemaran yang terjadi dan sementara perlahan-lahan merusak ekosistem Teluk Ambon bukanlah persoalan sepeleh. Membangun kesadaran yang bukan hanya sekedar slogan yang kemudian ditempel di sudut-sudut kota ini tetapi melainkan sebuah aksi nyata
1.3.TUJUAN
Berdasarkan penjelasan
yang telah dipaparkan sebelumnya diketahui bahwa ekosistem mangrove, lamun dan
terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting bagi organisme dan
sumberdaya didalamnya yang berperan dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya ekosistem
ini sangat dibutuhkan keberadaannya di Teluk Ambon. Pada kesempatan ini diharapkan
dapat memberi gambaran tentang ekosistem yang ada di Teluk Ambon. Benarkah Teluk
Ambon dan Ekosistemnya dalam ancaman? Jika benar apa yang menjadi pokok
permasalahanya dan bagaimana kontribusi pemikiran yang bisa penulis berikan
untuk mengatasi permasalahan tersebut.
1.4.MANFAAT
Melalui tulisan ini
diharapkan dapat memberikan penjelasan argumen berdasarkan hasil penelitian tentang
benarkah Teluk Ambon dan ekosistemnya dalam ancaman? yang diperoleh melalui
sumber penelitian terkait mengenai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang
dan diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi kelangsungan
ekosistem tersebut dimasa mendatang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.EKOSISTEM MANGROVE
Mangrove berasal dari
kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English), Suatu tipe ekosistem hutan
yang tumbuh di suatu daerah pasang surut (pantai, laguna, muara sungai) yang
tergenang pasang dan bebas pada saat air laut surut, komunitas tumbuhannya mempunyai
toleransi terhadap garam (salinity)
air laut.
Sebagai salah satu
ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.
Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis, fisik dan ekonomis. Fungsi ekologis
hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat,feeding ground, nursery ground,
spawning ground bagi aneka biota perairan, tempat bersarang berbagai satwa
liar terutama burung,sumber plasma nutfah,serta sebagai pengatur iklim mikro.
Fungsi fisik hutang
mangrove yaitu mempercepat perluasan
lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin
kencang serta menguraikan/mengolah limbah organic. Fungsi ekonominya antara
lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan
penghasil bibit.
Hutan mangrove meliputi
pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12
genera tumbuhan berbunga :Avicennie,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia,Aegiceras,
Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus(Bengen 2001). Formasi hutan mangrove
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi
pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik. Ekosistem mangrove
yang terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan
didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam
perairan asin/payau.
2.1.1.
Fungsi
Mangrove
1. Sebagai
peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi dan pengikisan pantai oleh
air laut, penahan intrusi air laut ke darat, penahan lumpur dan perangkap
sedimen.
2. Sebagai penghasil sejumlah besar detritus bagi
plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut.
3. Sebagai
habitat bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilia (biawak, ular), dan
mamalia (monyet).
4. Sebagai
daerah asuhan (nursery grounds),
tempat mencari makan (feeding grounds),
dan daerah pemijahan (spawning grounds)
berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
5. Sebagai penghasil kayu konstruksi, kayu bakar,
bahan baku arang, dan bahan baku kertas.
6. Sebagai tempat ekowisata.
2.1.2.
Daya
Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove
mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan (Bengen, 2001),
menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi
terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk
perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai
pneumatofora(misalnya: Avecennia spp.,
Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan
(2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi
terhadap kadar garam yang tinggi :
3. Memiliki
sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
4. Berdaun
kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam
5. Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk
mengurangi penguapan.
6. Adaptasi
terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal
yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi
untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
2.1.3.
Zonasi
Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001),
penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan.
Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia:
1.
Daerah yang paling
dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh
Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan
tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
2.
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya
didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp
dan Xylocarpus spp.
3.
Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
4.
Zona transisi antara
hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans,
dan beberapa spesies palem lainnya.
2.2.EKOSISTEM LAMUN
Lamun (sea grass) adalah Tumbuhan berbunga
yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut.
Tumbuhan ini terdiri dari Rhizome,daun dan akar. Rhizome merupakan batang yang
terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-buku. pada buku-buku tersebut
tumbuh batang pendek yang tegak ke atas,berdaun dan berbunga. Dengan rhizome dan akarnya inilah tumbuhan
tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga tahan terhadap
hempasan gelombang dan arus (Azkab, 1999)
Lamun
merupakan tumbuhan berbunga yang hidupnya terbenam di dalam laut.Padang lamun
ini merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik yang tinggi.
Fungsi ekologi yang penting yaitu sebagaifeeding ground, spawning ground dan
nursery ground beberapa jenis hewan yaitu udang dan ikan baranong, sebagai
peredam arus sehingga perairan dan sekitarnya menjadi tenang.
Meskipun padang lamun
merupakan ekosistim yang penting namun pemanfaatan langsung tumbuhan lamun
untuk kebutuhan manusia tidak banyak di lakukan. Beberapa jenis lamun dapat
digunakan sebagai bahan makanan, samo-samo (
Enhalus acoroides) misalnya di manfaatkan bijinya oleh penduduk pulau-pulau
seribu sebagai bahan makanan.
Adapun ancaman terhadap padang
lamun, diantaranya sebagai berikut :
1.
Pengerukan dan
pengurugan dari aktivitas pembangunan (pemukiman pinggir laut,pelabuhan,industri dan saluran
navigasi).
2. Pencemaran limbah industri terutama logam
berat dan senyawa organoklorin
3.
Pencemaran minyak dan
industri.
Upaya pelestarian Padang Lamun
Mencegah terjadinya pengrusakan akibat pengerukan dan pengurugan kawasan lamun
yakni :
1.
Mencegah terjadinya
pengrusakan akibat kegiatan konstruksi di wilayah pesisir
2. Mencegah
terjadinya pembuangan limbah dari kegiatan industri, buangan termal serta limbah pemukiman
3. Mencegah
terjadinya penangkapan ikan secara destruktif yang membahayakan lamun
4. Memelihara
salinitas perairan agar sesuai batas salinitas padang lamun
5. Mencegah terjadinya pencemaran minyak di
kawasan lamun
2.3.EKOSISTEM TERUMBU
KARANG
Terumbu karang adalah
suatu ekosistem di laut tropis yang mempunyai produktivitas tinggi (Sukarno et
al., 1986). Terumbu karang merupakan
ekosistem yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan
batas lingkungan perairan laut tropis dengan laut sub tropis maupun kutub (Nybakken,
1988) dalam Nontji 2007. Ekosistem ini mempunyai sifat yang menonjol karena
produktivitas dan keaneka- ragaman jenis biotanya yang tinggi. Longhurst dan
Pauly (1987) dalam Nontji 2007 menyatakan bahwa besarnya produktivitas yang
dimiliki terumbu karang disebabkan oleh adanya pendauran ulang zat-zat hara
melalui proses hayati.
Hewan karang
adalah pembentuk utama ekosistem terumbu
karang. hewan karang yang berukuran sangat kecil, disebut polip, yang dalam
jumlah ribuan membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu atau
karang lunak). Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud
adalah koral, sekelompok hewan dari ordo Scleractinia
yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan
Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup
dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di
terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang
adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di
Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan
koral. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Sebagai
hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya,karang merupakan komponen
yang terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang (coral reefs)
merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih,
hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat)
tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. (Guilcher, 1988) dalam Nontji 2007.
Terumbu karang adalah
endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) dan terutama
dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria = Scleractinia)
dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang
mengeluarkan kalsium karbonat.
2.4.Keterkaitan Ekosistem
Termumbu Karang Dengan Ekosistem Mangrove Dan Lamun
2.4.1.
Keterkaitan
Ekosisten Secara Fisik
Keterkaitan ekosistem
secara fisik antara mangrove, lamun dan terumbu karang berlangsung 2 arah, baik
dari arah darat menuju ke laut maupun dari laut menuju ke darat. Pergerakan
massa air dari darat atau laut merupakan faktor fisik utama yang mempengaruhi
ekosistem di daerah pesisir. Nontji (2007), menyatakan bahwa mangrove memiliki
kemampuan untuk menjebak zat hara, memerangkap sedimen dan melindungi pantai
dari hempasan gelombang yang besar. Kemampuan ini berkaitan erat dengan uniknya
struktur akar yang dimiliki mengrove. Bentuk akar yang bercabang-cabang dengan
struktur yang rumit dan kompleks menyebabkan mangrove memiliki kemampuan
membentuk daratan baru dari sedimen yang masuk ke daerah pesisir melalui
sungai.
Sedimen yang berasal
dari daratan dapat meningkatkan konsentrasi partikel tersuspensi di daerah
pesisir sehingga kolom air menjadi bertambah keruh. Tingkat kekeruhan yang
tinggi dapat menyebabkan tertutupnya polip karang sehingga menyebabkan proses
fotosintesis di dalam sel-sel zooxanthellae dan proses difusi dalam polip karang
terganggu. Jika mangrove hilang dari daerah tersebut maka sedimen akan terus
mengalir menuju laut dan menimbulkan efek negatif bagi organisme laut.
2.4.2.
Keterkaitan
Ekosistem Secara Kimiawi
Proses-proses kimiawi
yang terjadi dalam ekosistem mangrove juga memberikan pengaruh bagi ekosistem
lain di sekitarnya, seperti ekosistem lamun dan terumbu karang. Sebagian besar
proses kimiawi dalam ekosistem mangrove terjadi di dalam substrat dan kolom
air. Beberapa parameter yang penting dalam proses ini diantaranya adalah
kekeruhan (siltasi), konduktivitas elektrik dan kapasitas pertukaran kation.
Konsentrasi nutrien juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini, mangrove
termasuk ekosistem yang seimbang karena sangat efektif dalam menyimpan (sink)
nutrien dengan menyerap nitrogen terlarut, fosfor dan silikon. Transfer unsur
hara (fluxes nutrien) terjadi melalui proses fotosintesis dan proses
mineralisasi oleh bakteri (Kathiresan, 2001 dalam Http//keterkaitan-Ekosistem
2010).
Tumbuhan mangrove
berperan meningkatkan kandungan nutrien dalam substrat melalui serasah berupa
daun yang gugur dan materi organik/debris yang terjebak oleh akar. Substrat
akan kehilangan zat hara lebih cepat jika komunitas mangrove menghilang. Kaly
et al., 1997 dalam Kathiresan 2001 melaporkan, bahwa kerusakan komunitas
mangrove di wilayah Queensland Utara, Australia, menyebabkan hilangnya
konsentrasi nitrogen dan fosfor secara signifikan dari dalam substrat. Komunitas
mangrove seringkali mendapatkan suplai bahan polutan seperti logam berat yang
berasal dari limbah industri, rumah tangga dan pertanian (pupuk yang larut
dalam air). Mangrove dalam keadaan normal memiliki kandungan logam berat yang
rendah. Silva et al., 1990 ((Kathiresan, 2001 dalam
Http//keterkaitan-Ekosistem, 2010).,
Faktor fisik dan
kimiawi dari mangrove secara efisien dapat menjebak logam berat yang tidak
dapat diakumulasi secara biologis. Pengendapan yang cepat dari logam sulfida
yang stabil dalam kondisi anoksik mengurangi bioavailabilitas dari logam trace
dalam sedimen. Elemen yang paling aktif seperti Mn dan Zn akan terendap dalam
ikatan fraksi yang kuat. Dengan demikian, komunitas mangrove mampu mengontrol
polusi logam berat di daerah tropis (Kathiresan, 2001 dalam
Http//keterkaitan-Ekosistem 2010). ).
Kemampuan mangrove untuk
mengabsorbsi logam berat dalam sedimen merupakan salah satu contoh dari bentuk
keterkaitan ekosistem di daerah pesisir. Logam berat merupakan substansi yang
bersifat toksik sehingga sangat berbahaya bagi organisme laut. Adanya reduksi
logam berat yang terbawa oleh aliran air dan partikel tersuspensi oleh mangrove
akan menjamin sehatnya ekosistem lamun dan terumbu karang. Namun, jika
ekosistem mangrove menghilang, maka keberadaan ekosistem lamun dan terumbu
karang juga akan terancam. Meningkatnya konsentrasi logam berat yang bersifat
toksik dalam kolom air akan menimbulkan gangguan fisiologis dalam jaringan
tubuh organisme laut. Hal ini akan
mendorong munculnya penyakit yang cepat atau lambat dapat memusnahkan komunitas
lamun dan terumbu karang.
Mann (2000) (Kathiresan,
2001 dalam Http//keterkaitan-Ekosistem 2010).menyatakan bahwa rata-rata
produksi serasah mangrove yang berasal dari daun dan ranting yang gugur
mencapai 0,5 – 1,0 kg/m2/tahun. Dari jumlah tersebut sekitar 50% akan hanyut ke
luar dari daerah mangrove saat pasang dan terbawa menuju ke ekosistem lamun dan
terumbu karang.
Proses transfer nutrien
dari daratan menuju daerah mangrove, lamun dan terumbu karang sangat kompleks
dan menarik untuk dipelajari karena menunjukkan adanya hubungan keterkaitan di
antara ekosistem yang ada di daerah pesisir. Bahan organik yang dibawa oleh
aliran sungai dan serasah mangrove mengalami proses dekomposisi terlebih dahulu
sebelum dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai unsur hara. Saat daun mangrove
gugur dari pohon dan jatuh di permukaan air, maka dimulailah proses dekomposisi
bahan organik. Daun mangrove yang jatuh di air atau lumpur yang becek dan
lembab akan membusuk perlahan-lahan akibat proses dekomposisi oleh bakteri dan
jamur. Proses dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun
mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi menjadi serat yang lebih mudah
dicerna. Serasah mangrove yang sudah membusuk tadi kemudian akan dirobek,
dicabik-cabik menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh
kepiting dan hewan invertebrata lainnya. Potongan-potongan ini dikenal sebagai
POM (Particulate Organic Matter).
Setelah dicerna, terbentuk partikel organik yang lebih halus dan lebih
sederhana dalam bentuk feses (kotoran). Feses ini akan dicerna lebih lanjut
oleh organisme pemakan deposit (deposit
feeder) menghasilkan feses yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan
oleh organisme penyaring makanan (filter
feeder).
Proses dekomposisi
akibat autolisis jaringan mati dan aktifitas bakteri akan menghasilkan bahan
organik yang sifatnya terlarut yang
dikenal sebagai DOM (Dissolved Organic
Matter). Bahan ini akan dimanfaatkan kembali oleh bakteri, diserap oleh
hewan invertebrata atau berikatan dengan partikel tersuspensi dan gelembung
busa melalui proses fisik-kimiawi sebelum mengendap di dasar perairan dan
dimanfaatkan oleh organisme yang hidup dalam sedimen . Sebagian bahan organik
akan terhanyut menuju ekosistem lamun dan terumbu karang. Bahan Organik (DOM)
yang terlarut dalam kolom air akan dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai
produsen primer membentuk partikel organik yang lebih kompleks melalui proses
fotosintesis. Fitoplankton kemudian dimakan oleh zooplankton, zooplankton
dimakan oleh juvenil ikan dan seterusnya. Dengan demikian terjadi transfer
energi dari mangrove ke dalam jaring-jaring makanan melalui aktifitas
dekomposisi dari mikroorganisme Kathiresan,
2001 dalam Http//keterkaitan-Ekosistem 2010). ).
2.4.3.
Keterkaitan
Secara Ekologis
Secara ekologis,
terumbu karang mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan serta ekosistem
lain, seperti hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan karena terumbu
karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan lautan.
Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau di
sekitar padang lamun atau hutan mangrove akan menimbulkan dampak pula pada
ekosistem terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut
lepas, seperti: kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, pembuangan limbah dan
perhubungan laut.
2.4.4.
Keterkaitan
Ekosistem Secara Biologis
Hubungan keterkaitan
ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang sudah diduga sejak lama
oleh para ahli ekologi. Namun kepastian tentang bentuk keterkaitan antara
ketiga ekosistem tersebut secara biologis masih belum banyak dibuktikan. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk
membuktikan adanya keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu
karang tersebut dilaksanakan oleh Nagelkerken et al., (2000), Hubungan
keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang ditunjukkan
oleh migrasi ikan karang menuju ke padang lamun dan hutan mangrove. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan melaporkan bahwa berdasarkan waktunya migrasi
ikan dapat dibagi menjadi 3 seperti diuraikan di bawah ini:
1.
Migrasi yang dilakukan
oleh ikan dari tempat satu ke tempat yang lain sesuai dengan tahapan atau daur
hidupnya. Misalnya beberapa jenis dari ikan melakukan migrasi ke estuaria saat
masih dalam tahap juvenil dan bermigrasi kembali ke laut dalam saat dewasa.
2. Migrasi
yang dilakukan pada waktu tertentu setiap tahun. Migrasi ini umumnya dilakukan
untuk mencari lingkungan baru yang memiliki banyak sumber makanan, memiliki kisaran suhu tertentu atau mencari
tempat untuk memijah dan bertelur. Migrasi ini
dikenal sebagai migrasi musiman.
3.
Migrasi ini umumnya
dimulai saat senja. Beberapa jenis ikan yang bersifat nocturnal (aktif pada
malam hari) bergerak dari tempat beristirahat di gua-gua atau di daerah terumbu
karang menuju perairan yang lebih dangkal seperti daerah lamun dan mangrove
untuk mencari makan. Saat fajar ikan-ikan tersebut akan melakukan migrasi
kembali ke tempat yang lebih dalam untuk beristirahat di gua atau di daerah
terumbu karang. Migrasi ini disebut migrasi senja (twilight migration). Adapula ikan yang melakukan migrasi mengikuti
pola pasang surut. Ikan-ikan dari daerah terumbu karang atau ikan dari laut
terbuka akan bergerak menuju padang lamun dan mangrove saat pasang naik untuk
mencari makan dan akan kembali saat surut. Migrasi ini disebut migrasi pasang
surut.
Dari proses migrasi yang telah diuraikan di atas
dapat diketahui bahwa banyak jenis ikan membutuhkan beberapa ekosistem yang
berbeda untuk hidup. Dengan demikian, hilangnya satu ekosistem akan merugikan
banyak spesies organisme laut. Jika ekosistem mangrove atau lamun hilang, maka
banyak organisme yang hidup di daerah terumbu karang atau laut dalam yang akan
mengalami kerugian karena kehilangan tempat untuk mencari makan, memijah,
membesarkan anak dan berlindung dari pemangsa. Adanya keterkaitan ekosistem
antara mangrove, lamun dan terumbu karang menyediakan ruang yang lebih luas dan
habitat yang lebih bervariasi. Hal ini berarti akan meningkatkan daya dukung
bagi kehidupan organisme serta menciptakan suatu rantai makanan dan
jaring-jaring makanan yang lebih kompleks. Tidak mengherankan apabila
keanekaragaman jenis organisme laut relatif tinggi di daerah pertemuan antara
ketiga ekosistem tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. KONDISI EKOSISTEM DI
TELUK AMBON
Kawasan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang beragam kekayaan hayati, sumberdaya alam perikanan, mineral dan bahan galian, dapat ditemukan dalam lingkungan pesisir Kota Ambon. Tatanan dan peran ekosistem pesisir saat ini cenderung terdegradasi oleh kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang bersumber dari kegiatan di darat maupun dari laut. Jika dilihat dari kondisi dahulu dan saat ini, maka kesehatan ekosistem dan sumberdaya terutama di Teluk Ambon, sudah semakin menurun, dilihat dari pencemaran limbah pemukiman dan kota, sedimentasi, ceceran minyak dan sebagainya. Kegiatan eksploitasi sumberdaya kelautan dan perikanan oleh kalangan usaha perikanan, dan masyarakat di kelurahan dan desa/negeri berlangsung karena kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin berat. Pemulihan ekosistem dan sumberdaya alam tersebut perlu dilakukan sesegera mungkin serta dilakukan upaya-upaya pencegahan,rehabilitasi, pengelolaan, sehingga dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam perbaikan ekonomi kota maupun kesejahteraan sosial ekonomi masyarakatnya secara berkelanjutan.
3.1.1. Kondisi Ekosistem
Mangrove
Salah satu upaya
untuk mengetahui gangguan terhadap hutan mangrove adalah dengan mengukur
perubahan luasan hutan mangrove secara time series baik secara terestris maupun
non terestris. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zonni (2011) terhadap
perubahan luas hutan mangrove di teluk Ambon dengan menggunakan Citra Landsat 7
ETM. Berdasarkan penelitian
tersebut diketahui bahwa perubahan luasan mangrove antara tahun 2000 sampai
dengan tahun 2009 sebesar 19,9 Ha (29,29%) atau 1,99 Ha/tahun. Dengan
menggunakan laju perubahan tutupan tersebut, tanpa upaya konservasi hutan
mangrove di Teluk Ambon terancam punah pada dua dasawarsa kedepan.
Perubahan luas hutan
mangrove di Teluk ambon umumnya disebabkan aktivitas manusia. Dahuri et.al
(2001) menyebutkan bahwa secara umum mangrove cukup tahan terhadap berbagai
gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian, permasalahan utama tentang
pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove berasal dari keinginan manusia
untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pemukiman dan pertanian.
Selain itu juga kondisi hutan mangove yang semakin sedikit populasinya akibat
perkembangan pembangunan, abrasi maupun penebangan liar
Kerusakan mangrove
diteluk ambonn bagian dalam sebagian besar disebabkan oleh pencemaran, sampah
serta aktifitas manusia yang tidak terkendali di darat. Banyak sedimentasi
karena alih fungsi hutan di daratan tinggi dan curah hujan yang tinggi yang
menyebabkan terjadi banyak erosi semakin memperparah terhadap kawasan hutan
didaerah landai termaksud juga hutan mangrove. Menilik fungsi hutan mangrove
yang kompleks, maka gangguan terhadap eksistensi hutan mangrove seyogjanya
mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perubahan yang kecil terhadap
ekosistem ini berdampak yang besar terhadap keseluruhan ekosistem. Salah satu
langkah positif dalam menyikapi hal tersebut adalah dengan mengembangkan
ekowisata.
Peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon menilai kawasan hutan mangrove atau bakau di
kawasan Teluk Dalam Ambon perlu dikonservasi, karena populasinya semakin
berkurang.Upaya konservasi sangat penting dilakukan karena keberadaan kawasan
hutan bakau menjadi habitat pengembang biakan berbagai jenis biota laut (Saleh
dalam ANTARA-Ambon)
Kawasan Teluk Dalam
yakni Desa Lateri sampai Desa Waiheru, Kecamatan Baguala perlu segera
dikonservasi mengingat sedimentasi tanah dan lumpur akibat penggusuran lahan
untuk pembangunan perumahan di kawasan tersebut cukup tinggi dan
mengkhawatirkan. Khusus di Desa Lateri berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan beberapa waktu lalu, kondisi lumpurnya cukup tinggi menutupi kawasan
hutan mangrove, dikarenakan pesatnya penggusuran lahan untuk pembangunan
perumahan dan mengabaikan perlindungan lingkungan. Hal ini jika tidak segera
ditangani maka akan berdampak petumbuhan mangrove menjadi lambat, dan banyak
biota laut mati. Sedangkan di Desa Waiheru, kondisi mangrove cukup baik namun
yang ditakutkan adalah bahan pestisida yang digunakan petani sayur di daerah
tersebut juga akan berdampak tanaman mangrove mati. Pemerintah maupun
masyarakat telah melakukan langkah konservasi tetapi hanya sekedar menaman
bibit mangrove dan setelah itu tidak dilakukan pengawasan terhadap
pertumbuhannya, sehingga banyak yang mati.
3.1.2. Kondisi Ekosistem Lamun
Padang
lamun di perairan Teluk Ambon terancam rusak berdasarkan hasil pemantauan Pusat
Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPLD-LIPI) yang
menunjukan adanya penurunan kondisi habitat tumbuhan laut tersebut yang
signifikan sejak 2011."Padang lamun menunjukkan adanya penurunan kondisi
pada enam tahun terakhir ini (Hanung 2017 dalam Antara-Ambon)
Hanung yang juga ketua tim
monitoring Teluk Ambon mengatakan dari tujuh lokasi pemantauan, hanya di
pesisir desa Halong, kecamatan Baguala yang kondisinya mengalami peningkatan. Sedangkan
empat lokasi lainnya, yakni pesisir Tanjung Tiram serta kelurahan Lateri,
Waiheru dan Passo, kecamatan Baguala kodisinya telah mengalami penurunan. Dua
lokasi sisanya, seperti Tantui, kecamatan Sirimau dan desa Hative Besar
kecamatan Teluk Ambon telah mengalami kerusakan akibat proyek reklamasi.
"Teluk Ambon menjadi
salah satu kawasan pesisir penting di Provinsi Maluku. Berbagai aktivitas
masyarakat sangat berpengaruh pada kondisi lingkungan perairan,"Aktivitas berlebih di daerah
daratan dan kawasan perbukitan oleh masyarakat, salah satunya adalah sering
terjadinya konversi lahan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW)
kota Ambon akan mengurangi daya dukung terhadap Teluk Ambon di masa mendatang. Karena
itu, pematauan kondisi Teluk Ambon secara rutin menjadi salah satu cara untuk
menentukan arah pengelolaan sumber dayanya. "Akumulasi dari seluruh hal
ini, akan mengurangi daya dukung Teluk Ambon dalam beberapa tahun ke
depan,"
Teluk Ambon Dalam (TAD) diduga telah
mengalami sedimentasi secara berlebihan menyebabkan degradasi vegetasi lamun
yang tumbuh di area tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas
mengenai hal tersebut maka pada Oktober 2010 - Januari 2011 telah dilakukan
penelitian lapangan untuk mendeskripsikan sebaran dan kerapatan lamun pada
beberapa lokasi di TAD dengan kondisi perubahan sedimentasi yang berbeda.
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode transek tegak lurus garis
pantai sepanjang vegetasi lamun. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat
enam jenis lamun yang menyebar dengan tidak merata. Pada lokasi dengan
perubahan sedimentasinya yang besar lamun membentuk vegetasi monospesies.
Sebaliknya, pada lokasi yang sedikit perubahan tingkat sedimentasinya, lamun
membentuk vegetasi multispesies. Sebaran dan kelimpahan tiap jenis lamun
berkaitan dengan perbedaan kemampuan tumbuh pada kondisi lingkungan tertentu
dan daya kompetisi antar jenis lamun. (Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 2016)
Pelestarian ekosistem padang lamun
merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan
tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang
berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini
dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian,
sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan
kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar. Dengan
demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal
padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem
pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya
sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001). Salah satu strategi penting yang saat
ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam,
termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyakaratan (Community Based Management). Raharjo
(1996) mengemukakan bahwa pengeloaan
berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Dalam konteks ini pula perlu
diperhatikan mengenai karakteristik
lokal dari masayakarakat di suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu
faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir adalah dekstrusi
masayakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam strategi ini
perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya adalah untuk mangurangi
tekanan terhadap sumberdaya pesisir
termasuk lamun di kawasan tersebut.
3.1.3. Kondisi Ekosistem
Terumbu Karang di Teluk Ambon
Luas ekosistem terumbu karang di wilayah Teluk Ambon
setiap tahun semakin berkurang, seiring dengan meningkatnya kegiatan masyarakat
di wilayah tersebut. Wilayah pesisir Teluk Ambon merupakan bagian yang sangat
penting bagi Pulau Ambon. Wilayah tersebut menjadi pusat aktifitas masyarakat
seperti : permukiman, ekonomi dan bisnis, perhubungan, penangkapan ikan,
budidaya perikanan dan aktifitas masyarakat lainnya.
Terancamnya ekosistem terumbu karang di wilayah Teluk
Ambon, dibuktikan oleh hasil penelitian dan monitoring yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian Laut Dalam. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada
bulan April 2015, terdapat 16 suku, 50 marga dan 194 jenis karang batu.
Sedangkan pada penelitian tahun 2012 diperoleh 17 suku, 60 marga dan 182 jenis.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun telah terjadi
perubahan jumlah suku, marga dan jenis.
Penurunan jumlah suku dan marga disebabkan karena pada
beberapa stasiun terjadi kematian karang
hidup yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan satu suku dan beberapa marga
mati/hilang, diantaranya suku Trachyphyliidae dengan jenis Trachyphyllia geoffroyi. Ada beberapa marga dan jenis yang juga
sudah hilang seperti Acropora
valenciennesi, Cynarina
lacrymalis,Scolimia vitensis, Goniastrea favulus,Barabattoia Amicorum, Pavona
cactus, Montipora samariensis, Alveopora catalay, Alveopora spongiosa,
Leptoseris Explanata, Psammocora contigua. Sedangkan peningkatan jumlah
jenis yang diperoleh pada penelitian ini disebabkan oleh faktor semakin
membaiknya kondisi karang hidup dibeberapa stasiun penelitian yang memberikan
ruang untuk munculnya jenis-jenis baru.
Data
persen penutupan karang hidup di Teluk Ambon berdasarkan kriteria penilaian
kondisi karang hidup suatu wilayah yang dikemukakan oleh Wilkinson et.al. (1992)
dalam (Terry 2016). Berdasarkan hasil penelitian tahun 2015 hanya 1 stasiun
saja yang dikategorikan “Sangat Baik” yaitu Dusun Eri (St.3), 1 stasiun yang
berkategori “Baik” yaitu Desa Liliboy (St.1), dan 2 stasiun berkategori
“Rusak” yaitu Batu Capaeu (St.4) dan
Kota Jawa (St.6), serta 4 stasiun berada pada kategori “Sangat Rusak”yaitu Desa
Hative Besar (St.2), Desa Poka (St.5), dan Desa Halong (St.7), serta Desa
Hunuth (St.8).Berdasarkan hasil penelitian, tingginya kematian karang di
beberapa stasiun disebabkan oleh laju sedimentasi yang cukup tinggi. Perkembangan
karang hidup di Teluk Ambon tahun 2012 dan 2015 dapat dilihat pada gambar
berikut :
Terlihat jelas pada gambar bahwa kondisi terumbu karang di Teluk Ambon apabila dibiarkan akan menjadi semakin terpuruk bahkan koleps apabila tidak ada tindakan positif yang dilakukan oleh pihak terkait untuk memulihkan ekosistem tersebut. Berbagai aktivitas masyarakat sangat berpengaruh pada kondisi lingkungan perairan. Aktivitas berlebih di daerah daratan dan kawasan perbukitan oleh masyarakat merupakan salah satunya. Sering terjadinya konversi lahan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) kota Ambon akan mengurangi daya dukung terhadap Teluk Ambon di masa mendatang. (Hanung- PPLD-LIPI dalam Antara News, ambon). Pematauan kondisi Teluk Ambon secara rutin menjadi salah satu cara untuk menentukan arah pengelolaan sumber dayanya.
3.2.
MEMBANGUN
KEMBALI EKOSISTEM DI TELUK AMBON
Dari sisi
kondisi ekosistem Teluk Ambon saat ini dalam kondisi sangat kritis. Hal ini
dapat dilihat dengan keberadaan dari tiga komponen ekosistem laut, seperti
hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun yang semakin punah, akibat
dipengaruhi degradasi ekosistem pesisir, pembukaan lahan dan erosi serta
pertambahan penduduk. Setiap harinya warga kota Ambon membuang berton-ton
sampah ke Teluk Ambon. Pencemaran yang terjadi dan sementara perlahan-lahan
merusak ekosistem teluk ambon bukanlah persoalan sepeleh. Karena kesadaran diri
dari masing-masing warga menjadi kendala yang harus dihadapi saat ini.
Membangun kesadaran yang bukan hanya sekedar slogan yang kemudian ditempel di
sudut-sudut kota ini tetapi melainkan sebuah aksi nyata (Bruri 2014)
Berdasarkan data
dan fakta kondisi teluk Ambon yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diprediksi dan disimpulkan bahwa faktor penyebab utama dan pertama adanya
perubahan ini adalah faktor manusia (antropogenik) dan sedikit faktor alam (naturagenik). Faktor naturagenik
tentu hanya dapat melakukan prediksi dan
antisipasi melalui pola-pola mitigasi yang harus dikembangkan. Sedangkan faktor
antropogenik sekalipun sebagai faktor penyebab terbesar, harus dengan hikmat dan strategi yang inovatif dapat kita
memperbaikinya atau mengelimisasi. Sekalipun untuk mengelola faktor manusia ini
membutuhkan waktu dan penuh dengan resiko-resiko yang kadang bisa diketahui
sebelumnya maupun tidak diketahui. Oleh
karenanya untuk mengembalikan produktivitas teluk ini kembali seperti semula khususnya
ekosistem yang ada perlu pemikiran, sikap dan tindakan yang berani, tegas tetapi
harus berhikmat dan humanis. Hal ini menyangkut kebijakan dan strategi
pengelolaan teluk untuk mengembalikan produktivitas ekosistem kembali kepada
keadaan semula atau minimal mendekati keadaan semula.
Namun yang paling penting dalam pengelolaan
ekosistem di dalam wilayah pesisir harus diingat, bahwa suatu ekosistem di
wilayah pesisir tidak berdiri sendiri atau diantara beberapa ekosistem saling
terkait baik secara biogeofisik, maupun secara sosioal-ekonomi; dan
kelangsungan hidup suatu ekosistem juga sangat tergantung pada aktifitas
manusia di darat yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat.
Dengan demikian, upaya konservasi dan pelestarian serta pengunaan sumber daya
ekosistem yang berkelanjutan memerlukan pengelolaaan secara terpadu memiliki
pengertian bahwa pengelolaan sumber daya
alam jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara
menyeluruh (comprehensive assesment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian
merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan
tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dangan mempertimbangkan aspek
sosial-ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah area pesisir
(stakeholder) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Cara dan
strategi ini mungkin bukan yang baru dan pertama, namun menurut saya tidak
dapat dipungkiri agar ekosistem tetap
berkelanjutan diperlukan kesadaran dan kerjasama dari segenap masyrarakat Ambon
dan juga Pemerintah. Agar kerusakan tidak berkelanjutan penyuluhan serta
sosialisasi tentang pentingnya hutan mangrove kepada masyarakat sangat perlu
dilakukan, terutama pada masyarakat atau pendudduk yang tinggal didaerah
pesisir serta diperlukan komitmen bersama dari semua pihak baik pemerintah,
masyarakat, peneliti, industri/perusahaan maupun praktisi-praktisi terkait.
3.2.1.
Peran
Pemerintah
Berdasarkan
paparan sebelumnya diketahui ekosistem Teluk Ambon saat ini dalam kondisi
sangat kritis. Hal ini dapat dilihat dengan keberadaan ekosistem laut bukan
hanya terumbu karang tetapi mangrove dan lamun semakin terpuruk, akibat dipengaruhi
degradasi ekosistem pesisir, pembukaan lahan dan erosi serta pertambahan
penduduk. Pemerintah telah banyak membuat kebijakan tetapi menurut saya jika
kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat, ada
kemungkinan peraturan tersebut kemudian terabaikan, untuk itu perlu adanya
ketegasan dan pengawasan untuk kebijakan yang dilakukan. Sebagai contoh Pemerintah
Kota harus terus mengupayakan membuat sejumlah program dan mensosialisasikannya
ke masyarakat sekitar, melakukan kebijakan untuk pemulihan ekosistem, bukan
hanya terumbu karang, tetapi lamun dan mangrove juga harus dipulihkan karena
ketiga ekosistem ini saling terkait, juga membentuk Satuan Polisi Teluk Ambon
yang dapat berperan dalam pengawasan.
Alasan pembentukan ini didasari pada dua pemikiran sederhana yakni faktor utama penyebab yakni manusia sehingga manusialah yang harus didahulukan untuk diperbaiki. Dasar pengetahuan saya bahwa alam punya mekanisme yang sudah baku untuk memulihkan dirinya berbeda dengan manusia yang membutuhkan manusia untuk menyadarkan. Polisi Teluk Ambon merupakan garda terdepan yang bisa diefektifkan dalam tugas mengawasi dan menginsafan warga di sekitar pesisir teluk untuk perubahan sikap dan mental dalam memandang teluk Ambon. Menurut saya inti dalam mengelola teluk ini hanya pada pengawasan dan penertiban manusia di sekitar pesisir dulu baru ke darat, karena salah satu sifat dasar orang Ambon adalah suka bersih dan kalau ada orang yang membuat lingkungan yang dia sudah bersihkan, maka secara spontan ia akan melarang atau melawan. Maksud saya adalah jika warga di pesisir akan melawan atau melarang tetangga sebelahnya yang di bukit atau gunung untuk membuang kotoran atau sampah yang pada akhirnya mereka yang menerima akibatnya. Selain i tu mempunyai tugas tambahan dengan teritorial mereka adalah Teluk Ambon (Dari Ujung Tanjung Nusaniwe sampai Ujung Pesisir Lilibooy)(Bruri 2014)
3.2.2.
Peran
Masyarakat
Setiap harinya warga kota Ambon membuang berton-ton sampah ke Teluk Ambon, pencemaran limbah pemukiman dan kota, pembangunan permukiman yang tidak ramah lingkungan, sedimentasi, ceceran minyak dan lain sebagainya perlahan-lahan merusak ekosistem. Konversi area hutan mangrove menjadi areal pemukiman dan pertanian, penangkapan sumberdaya ikan misalnya pada daerah terumbu karang dan lamun dengan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan dapat merusak ekosistem tersebut. Karena itu kesadaran diri dari masing-masing warga masyarakat menjadi kendala yang harus dihadapi saat ini. Untuk itu menurut saya harus ada kesadaran dari pribadi masing masing untuk dapat menyadari bahwa hal tersebut keliru dan harus segera diperbaiki demi keberlanjutan ekosistem ini dimasa mendatang. Selain itu melalui kampanye penyelamatan yang dilakukan di wilayah ekosistem, diharapkan masyarakat dapat mengetahui arti penting dan nilai strategis ekosistem terutama diwilayah teluk Ambon.
3.2.3.
Peran
Perusahaan Dan Industri Terkait
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyumbang sampah, limbah hingga pencemaran terbesar juga berasal dari aktifitas industri maupun perusahaan. Ekosistem mangrove, lamun hingga terumbu karang juga terkena dampak dari aktifitas ini. Oleh karenanya perlu kesadaran dan kerjasama dari pihak industri/perusahaan dengan pemerintah untuk mengupayakan strategi agar pencemaran yang ditimbulkan dapat diminimalkan atau bahkan dihindari.
3.2.4.
Peran
Peneliti/Akademisi
Aktifitas para peneliti/akademisi
dalam mengupayakan pemulihan kembali ekosistem
merupakan hal mutlak yang harus
dilakukan, karena menurut saya peneliti yang mengetahui dengan pasti tentang
keberadaan dan perkembangan ekosistem. Ekosistem terumbu karang mempunyai keterkaitan ekologis dengan mangrove dan lamun, baik dalam nutrisi
terlarut, sifat fisik air, partikel organik, maupun migrasi satwa, dan dampak
kegitan manusia. Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem tersebut
terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut terganggu. Yang jelas interaksi
yang harmonis antara ketiga ekosistem ini harus dipertahankan agar tercipta
sebentuk sinergi keseimbangan lingkungan. Ekosistem mangrove merupakan
ekosistem yang sangat produktif dengan produktivitas primernya yang sangat
tinggi daripada ekosistem lainnya di perairan. Mangrove mempunyai fungsi
ekologis yang sangat penting yaitu sebagai salah satu penyerap karbondioksida
di udara. Peningkatan kandungan karbondioksida di udara dapat menyebabkan
dampak pemanasan global. Jika terjadi pemanasan global oleh penebangan hutan
mangrove besar-besaran maka ini akan berpengaruh terhadap ekosistem terumbu
karang dan lamun. Misalnya zooxanthela pada terumbu karang akan keluar dari
karang akibat meningkatnya suhu perairan. Karang yang membutuhkan zooxanthela
dalam memproduksi zat-zat penting bagi pertumbuhannya akan mati sehingga
terjadi pemutihan karang
Ekosistem itu
terdiri dari tiga komponen yakni komponen biotik, komponen abiotik dan komponen
interaksi antara komponen biotik dan abiotik. Jadi jika saya maksudkan ekosistem
terumbu karang berarti yang saya maksudkan
adalah ada hewan karang, ada lingkungan yang mendukung atau menyebabkan hewan
karang hidup dengan baik dan terakhir ada interaksi yang baik antara hewan
karang dalam membentuk terumbu dengan lingkungannya dan sebaliknya. Demikian
juga untuk ekosistem lamun dan mangrove.
Komunitas mangrove, lamun dan terumbu karang memiliki peran yang saling
mendukung bagi keutuhan ekosistem masing-masing. Mangrove memiliki peran secara
fisik sebagai penjebak hara dan sedimen, pelindung daratan dari abrasi dan
intrusi air laut dan menjadi tempat berlindung bagi banyak organisme laut.
Komunitas lamun berperan secara fisik dengan mengurangi energi gelombang,
menstabilkan substrat sehingga mengurangi kekeruhan, menjebak zat hara, serta
menjadi tempat bertelur, memijah, mencari makan dan membesarkan juvenil bagi
organisme. Sedangkan terumbu karang sendiri, selain berperan mengurangi energi
gelombang, juga memperkokoh daerah pesisir secara keseluruhan dan menjadi
habitat bagi banyak jenis organisme laut.
Untuk itu agar
kerusakan tidak berkelanjutan penyuluhan serta sosialisasi tentang pentingnya
mangrove, lamun dan terumbu karang kepada masyarakat sangat perlu dilakukan,
terutama pada masyarakat atau pendudduk yang tinggal didaerah pesisir. Komitmen
bersama dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat, peneliti, industri/perusahaan
maupun praktisi-praktisi terkait merupakan hal mutlah yang harus dilakukan
untuk keberlanjutan ekosistem dan Teluk Ambon di masa yang akan datang.
BAB IV
PENUTUP
1.1.
KESIMPULAN
1. Benar
bahwa Teluk Ambon dan ekosistemnya berada dalam ancaman, Ekosistem ini terdiri
dari Mangrove, Lamun dan Terumbu karang. Faktor pemicu terbesar yang
mempengaruhi adalah manusia sedangkan faktor alam hanya beberapa persen saja.
2. Sebagai
upaya konservasi dan kelestarian ekosistem dalam rangka tetap mempertahankan
lingkungan dan penggunaan yang berkelanjutan, maka pendekatan terpadu yang
melibatkan berbagai pihak untuk membuat solusi tepat dalam mempertahankan
fungsi ekologis dari ekosistem yaitu pengelolaan pesisir secara terpadu. Untuk
itu perlu adanya campur tangan pihak terkait dalam hal ini pemerintah,
peneliti, industri/ perusahaan dan masyarakat mengenai kelangsungan hidup
Ekosistem karena jika dibiarkan akan terjadi degradasi yang memungkinkan
ekosistem tersebut koleps bahkan punah
3. Ekosistem
ini mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan serta saling mempengaruhi
antar ekosistem. Untuk itu ketika hendak melakukan pemulihan terumbu karang misalnya
harus dibarengi dengan pemulihan ekosistem lainnya seperi mangrove dan lamun.
DAFTAR PUSTAKA
Anugerah
Nontji.2007.Laut Nusantara.Djambatan:Jakarta
Augy
:2013, Siwalima :Teluk Ambon Saat Ini dalam Kondisi Kritis http://www.siwalimanews.com/post/lipi_kondisi_teluk_ambon_kritis
Azkab,M.H.
1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Bengen
Dietriech. G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.PKSPL – IPB,
Bogor. 27 halaman
Bengen,
D. G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB: Bogor.
Bruri.
M. Leimeheriwa. 2014 : Strategi Pengelolaan Teluk ambon, FPIK:Universitas
Pattimura:Ambon
Dahuri,
R., J. Rais, S. Putra Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. P.T.Pradnya Paramita: Jakarta.
D.Sahetapy,
Ch. I. Tupan, M. A. Tuapattinaja, Pr. A. Uneputty, N. Ch. Tuhumury, 2008. Buku
Ajar Ekologi Perairan
Fauzi,
A. 2000. Persepsi terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan.
Makalah Pelatihan untuk Pelatih, 13-18 November 2000. Bogor.
Hanung : 2017, Netralnews :Kondisi
Teluk Ambon Kritis: netralnews.com.
http://www.neralnews.com/post/lipi_kondisi_teluk_ambon_kritis
Jurnal
Ilmu dan Teknologi laut tropis :2016
Kathiresan
: 2001, Keterkaitan Ekosistem 2010 http://www.shttp://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/SponsorPendamping/Praweda/Biologi/0027%20Bio%201-6b.htmmkjeunieb.co.cc/2010/08/keterkaitan-ekosistem-secara-biologis.html
LIPI:
Pusat Penelitian Laut Dalam, Liputan6.com, Ambon:Opsi Alternatif Terumbu
karang.http://mliputan6.com/regoinal/read/3583582/opsi-alternatif-untuk-terumbu-karang
Naamin,
N. 2001. Oseanology (Parameter fisik, Kimia dan Biologi) Dari Terumbu Karang.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Nybakken,
J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta.
Ralahalu:2013,
Berlayar Dalam Ombak Berkarya Bagi Negeri
Saleh : 2016 Antara News, Kondisi
Padang lamun teluk Ambon:
http://www.antaranews.com/post/lipi_kondisi_padanglamun_ambon_kritis
Suharsono.
1998. Standard Monitoring Terumbu Karang. Puslitbang – LIPI. Jakarta
Supriharyono,
2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
PT. Gramedia Pustaka Umum Jakarta.
Sudarmadji,
2003. Konservasi dan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Jember, Bali. 53 halaman
Sukarno,
M., M. Hutomo, K. Moosa, dan P. Darsono,.
1986. Terumbu Karang di Indonesia
: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya.
Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. LON-LIPI.
Jakarta
Suharsono.
1998. Standard Monitoring Terumbu Karang. Puslitbang – LIPI. Jakart
Terry
:2016, Ekosistem Teluk Ambon
Yayasan
Terangi. 2005. Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta
Zonni
Buddin, Olmet. 2011. Perubahan Luas Penutupan / Penggunaan Hutan Mangrove
Menggunakan Citra Landsat 7 ETM Di Pesisir Teluk Ambon, Kota Ambon. Skrisi.
Universitas Pattimura: Ambon
http://www.shttp://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/SponsorPendamping/Praweda/Biologi/0027%20Bio%201-6b.htmmkjeunieb.co.cc/2010/08/keterkaitan-ekosistem-secara-biologis.html
http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2090461-terumbu-karang-merupakan-ekosistem-penting/
http://id.wikipedia.org/wiki/Terumbu_karang
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Rehabilitasi%20Terumbu%20Karang%20dengan%20Merintis%20Daerah%20Perlindungan%20Laut%20(Marine%20Protect%20Area)%20Berbasis%20Masyarakat,%20Solusi%20dari%20Tidak%20Efektifnya%20Terumbu%20Karang%20Buatan&&nomorurut_artikel=382Iklanb
http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/2242373-ekosistem-terumbu-karang/#ixzz28duubFxT
Komentar
Posting Komentar